Pengembangan Ketenagalistrikan di Indonesia
TENAGA listrik merupakan komoditas penting dan strategis untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia, meningkatkan peradaban dan kesejahteraan serta mendorong pertumbuhan ekonomi dan sosial masyarakat. Selain itu tenaga listrik merupakan komoditas mahal karena proses penyediaan tenaga listrik merupakan kegiatan yang padat modal, padat teknologi, padat usaha, dan memiliki risiko usaha yang tinggi sehingga memerlukan jaminan pengembalian atas investasi yang dikeluarkan.
Kebijakan energi nasional harus menjangkau horison waktu yang panjang mencakup beberapa dekade dengan mempertimbangkan berbagai sumber energi disamping itu pengelolaan energi yang meliputi penyediaan, pemanfaatan dan pengusahaannya harus dilaksanakan secara berkeadilan, berkelanjutan, rasional, optimal, dan terpadu. Oleh karena itu diperlukan Ketahanan pasokan energi (security of supply) yang harus dilaksanakan oleh Pemerintah.
UU No 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan mengamanatkan kewajiban Pemerintah dan Pemerintah Daerah dalam penyediaan tenaga listrik. UU juga memberikan kewenangan kepada Pemerintah atau Pemerintah Daerah dalam memberikan persetujuan atas harga tenaga listrik dan sewa jaringan tenaga listrik. UU juga menyatakan bahwa tarif tenaga listrik untuk konsumen dapat ditetapkan secara berbeda di setiap daerah dalam suatu wilayah usaha. Kebijakan Pemerintah terhadap tarif adalah tarif tenaga listrik secara bertahap dan terencana akan diarahkan untuk mencapai nilai keekonomian sehingga tarif tenaga listrik dapat menutup biaya pokok penyediaan yang telah dikeluarkan.
Situasi Energi China
Pada tahun 2015 Cina adalah penghasil listrik terbesar di dunia (24% dari produksi global), produsen energi terbarukan non-hidrolik terbesar kedua (17% dari produksi global) dan produsen batubara terbesar (3,5 miliar ton batubara per tahun atau 47 % produksi global). Sekitar 45% produksi batubara China dikonsumsi di sektor listriknya dan 65% dari seluruh listriknya berasal dari batubara. Sektor listrik berbasis batubara China sendiri menghasilkan setidaknya 7% emisi setara karbon dioksida global, dan sekitar sepertiga dari emisi domestik China.
Hal ini menunjukkan kenaikan keunggulan global relatif baru negeri ini dan telah terjadi sangat pesat dalam dekade terakhir. Angka-angka ini memberi latar belakang bagi kepentingan internasional yang signifikan di pasar tenaga listrik China dengan reformasinya. Konsumsi energi primer China mencapai 4,26 miliar ton setara batubara (ton), naik 2,1% dibanding tahun 2013, dan menyumbang 23 persen konsumsi energi global. Energi primer tumbuh hanya 29 persen secepat laju pertumbuhan PDB.
China menyumbang 27,5 persen emisi CO2 terkait energi global. Emisi CO2 per kapita China adalah 6,6 ton / orang, 49 persen di atas rata-rata dunia namun 59 persen di bawah Amerika Serikat. China menyumbang lebih dari separuh total konsumsi batubara dunia. Sebaliknya, konsumsi minyak China 12 persen dari permintaan dunia dan gas alam adalah 5,5 persen. Sejak tahun 2000, konsumsi gas alam China tumbuh pada tingkat 15,3 persen per tahun. Kawasan barat China terus menjadi sumber dominan peningkatan produksi minyak dan gas alam. China menambahkan 113 gigawatts (GW) kapasitas pembangkit pembangkit tenaga baru, yang 48 persen berbasis bahan bakar fosil.
Kapasitas tenaga angin naik 20 GW dan kapasitas fotovoltaik surya (PV) sebesar 9 GW. Pembangkit Listrik Tenaga angin menyumbang 22 persen dari total global, dan PV adalah 16 persen dari total global. Impor gas alam mencapai 60 miliar meter kubik (m3), naik 13 persen, termasuk kenaikan 15 persen gas pipa dari Asia Tengah, dan peningkatan 10 persen impor gas cair. Impor minyak mentah naik 9,5 persen menjadi 6,7 juta barel/hari, dan impor batu bara turun 15 persen menjadi 156 juta ton.
Permasalahan Energi di Indonesia
Permasalah energi di Indonesia pada awalnya adalah adanya ancaman pasokan energi (security of energy supply) yang diakibatkan tata kelola energi yang masih tidak sinkron. Kebutuhan listrik nasional yang diperkirakan tumbuh sekitar 8 – 9 % per tahun mengakibatkan perlu percepatan dalam pembangunan pembangkit dan penyalurannya. Mengacu pada pertumbuhan tersebut, berarti bahwa setiap tahun palin tidak harus ada tambahan sekitar 5.700 MW kapasitas pembangkit baru. Inilah yang harus disiapkan, apabila tidak terpenuhi melalui PLN dan IPP (pengembang listrik swasta), maka akan menghambat pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan kebutuhan tenaga listrik di Indonesia cenderung terus meningkat sesuai dengan meningkatnya kesejahteraan masyarakat serta makin berkembangnya industri.
Namun demikian, pertumbuhan kebutuhan tenaga listrik tersebut tidak dapat sepenuhnya dipenuhi PT. PLN karena keterbatasan kemampuan, sehingga masih ada beberapa sistem kelistrikan di luar Jawa-Bali yang mengalami kekurangan pasokan daya. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, PLN telah membanguna pembangkit tenaga listrik selain dari pembangkit listrik milik PLN sendiri juga menyewa pembangkit diesel dan melakukan pembelian listrik swasta.
Hal ini menjadi langkah besar bagi Pemerintah dalam penyediaan listrik karena dibutuhkan dana yang begitu besar dalam investasi infrastruktur ketenagalistrikan, mulai dari pembangunan pembangkit-pembangkit baru, jaringan transmisi, dan hingga jaringan distribusi agar listrik dapat disalurkan hingga ke konsumen dengan mutu dan keandalan yang baik. Langkah berikutnya adalah bahwa kenyataan rasio elektrifikasi yang mencapai sekitar 93,08%, artinya masih ada sekitar 6 juta konsumen masyarakat yang belum memiliki akses terhadap listrik sehingga tidak dapat menikmati listrik. Hal besar lainnya adalah kebutuhan subsidi listrik yang terus meningkat jumlahnya seiring dengan pertumbuhan kebutuhan listrik yang dipicu oleh pertumbuhan ekonomi dan pertumbuhan jumlah penduduk yang relatif tinggi.
Sumber : https://nasional.sindonews.com